Minggu, 21 Maret 2010

Karakteristik Down Sindrom

Individu dengan sindrom Down mungkin mengalami beberapa atau semua ciri-ciri fisik sebagai berikut: microgenia (tidak normal dagu kecil) celah mata miring dengan epicanthic lipatan kulit di sudut dalam mata (sebelumnya dikenal sebagai Mongoloid flip, hypotonia otot (otot miskin), jembatan hidung yang datar, palmaris satu kali lipat, yang menonjol lidah (disebabkan rongga mulut kecil, dan pembesaran amandel lidah dekat) atau macroglossia, leher pendek, bintik-bintik putih pada di iris dikenal sebagai Brushfield bintik-bintik, yang berlebihan termasuk kelemahan sendi-aksial atlanto ketidakstabilan, cacat jantung kongenital, ruang yang berlebihan antara jari kaki besar dan kedua kaki, satu fleksi galur kelima jari, dan jumlah yang lebih tinggi. Kebanyakan individu dengan sindrom Down memiliki keterbelakangan mental di ringan (IQ 50-70) sampai sedang (IQ 35-50) rentang, dengan individu-individu yang memiliki sindrom Down Mosaik biasanya 10-30 poin lebih tinggi. Di samping itu, individu dengan sindrom Down dapat memiliki kelainan serius yang mempengaruhi sistem tubuh manapun. Mereka juga mungkin memiliki kepala yang luas dan sangat wajah bulat.

Konsekuensi medis ekstra materi genetik dalam sindrom Down sangat bervariasi dan dapat mempengaruhi fungsi dari setiap organ tubuh sistem atau proses. Aspek kesehatan mencakup sindrom Down mengantisipasi dan mencegah dampak dari kondisi, mengenali komplikasi dari gangguan, individu mengelola gejala, dan membantu individu dan keluarganya dalam menghadapi dan berkembang dengan kecacatan atau penyakit yang terkait.

Sindrom Down dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme genetik yang berbeda. Hal ini menyebabkan variabilitas yang luas pada gejala individu kompleks karena gen dan interaksi lingkungan. Sebelum kelahiran, tidak mungkin untuk memprediksi gejala-gejala bahwa seorang individu dengan sindrom Down akan berkembang. Beberapa masalah yang hadir pada saat lahir, seperti malformasi jantung tertentu. Lain menjadi jelas dari waktu ke waktu, seperti epilepsi.

Manifestasi yang paling umum adalah sindrom Down memiliki karakteristik wajah, kerusakan kognitif, penyakit jantung bawaan (biasanya sebuah cacat septum ventrikel), pendengaran defisit (mungkin karena faktor sensorik-saraf, atau serosa kronis otitis media, juga dikenal sebagai Lem-telinga ), perawakan pendek, kelainan tiroid, dan penyakit Alzheimer. Other less common serious illnesses include leukemia , immune deficiencies , and epilepsy . Lain yang kurang umum termasuk penyakit serius leukemia, defisiensi imun, dan epilepsi.

Namun, manfaat kesehatan termasuk sindrom Down sangat berkurang insiden dari banyak penyakit berbahaya umum kecuali leukemia dan kanker testis meskipun itu, yang belum, tidak jelas apakah mengurangi insiden berbagai kanker yang fatal di kalangan orang-orang dengan sindrom Down adalah sebagai akibat langsung tumor-gen penekan pada kromosom 21, karena berkurangnya paparan terhadap faktor-faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap risiko kanker, atau yang lain yang belum ditentukan faktor. In addition to a reduced risk of most kinds of cancer, people with Down syndrome also have a much lower risk of hardening of the arteries and diabetic retinopathy. Selain mengurangi risiko dari sebagian besar jenis kanker, pengidap sindrom Down juga memiliki risiko yang jauh lebih rendah dari pengerasan pembuluh darah dan diabetes retinopathy.

Pemeriksaan diagnostik Down Sindrom

Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:

  • Pemeriksaan fisik penderita

  • Pemeriksaan kromosom

  • Ultrasonograpgy

  • ECG

  • Echocardiogram

  • Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)


Cara pelaksanaan :

Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.



Pencegahan Down Sindrom

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.


Gejala atau tanda-tanda

Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.

Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.

Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ yang lain.Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatf pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia, maka sering juga dikenal dengan Mongoloid.

Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esophagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).

Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.

Pengertian Down Sindrom

Sindrom down (bahasa Inggris: down syndrome) merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah sindrom down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Sindrom down merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya kromosom 21 (trisomy 21), Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down.

Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.



Kamis, 18 Maret 2010

Epidemiologi Autisme

Prevalensi, gangguan autistik terjadi dengan angka 2 sampai 5 kasus per 10.000 anak (0,02 sampai 0,05 persen) dibawah 12 tahun. Jika retardasi mental berat dengan ciri autistik dimasukan, angka dapt meningkat sampai setinggi 20 per 10.000. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulam tetapi mungkin tidak terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan keparahan gangguan.

Distribusi jenis kelamin. Gangguan autistik ditemukan lebih sering pada anak laki – laki dibandingkan anak perempuan. Tiga sampai lima kali lebih banyak anak laki – laki yang memiliki gangguan autistik dibandingkan anak perempuan. Tetapi anak perempuan yang memiliki gangguan autistik cenderung terkena lebih serius dan lebih mungkin memiliki riwayat keluarga gangguan kognitif dibandingkan anak laki – laki.

Status Sosioekonomi. Penelitian awal menyatakan bahwa status sosioekonomi yang tinggi sering ditemukan pada keluarga dengan anak – anak autistik; tetapi, temuan tersebut kemungkinan didasarkan pada rujukan bias. Selama lebih dari 25 tahun yang lalu, semakin banyak kasus yang ditemukan pada kelompok sosioekonomi rendah. Temua tersebut mungkin dikarenakan meningkatnya pengetahuan tentang gangguan dan bertambahnya petugas kesehatan mental yang tersedia bagi anak – anak miskin.

Selasa, 16 Maret 2010

Penanganan Autisme

Walaupun autisme belum dapat disembuhkan, penelitian selama 30 tahun mendukung pentingnya program penanganan perilaku yang intensif, yang menerapkan prinsip – prinsip belajar untuk mengurangi perilaku yang mengganggu dan meningkatkan keterampilan belajar serta komunikasi pada anak – anak autistic (USDHHS, 1999). Tidak ada pendekatan penanganan lain yang memberikan hasil yang sama (Gill, 2001). Pendekatan perilaku didasarkan pada metode operan conditioning dimana reward dan hukuman secara sistematis diapliksikan untuk meningkatkan kemampuan anak memperhatikan orang lain, bermain dengan anak lain, mengembangkan keterampilan akademik dan menghilangkan perilaku selft-mutilative.

Karena anak – anak autistik menunjukan defisit perilaku, fokus utama dari modifikasi perilaku adalah pengembangan perilaku baru. Perilaku – perilaku baru ini dipertahankan dengan adanya reinforcer, sehingga penting untuk mengajarkan kepada anak – anak ini, yang sering berespons kepada orang lain seperti mereka n da mati untuk menerima orang lain sebagai reinforcer. Seseorang dapat dijadikan reinforcer dengan cara memasangkan pujian dengan reinforcer primer seperti makanan. Selanjutnya, reinforcer sosial (pujian) dan reinforcer primer (makanan) ini dapat digunakan untuk membentuk dan memberi contoh perilaku dikamar kecil, berbicara dan bermain sosial. Keterlibatan keluarga dan para terapis rumah dalam program ini membantu mempertahankan dan menggeneralisasikan perubahan perilaku (Romanczyk, 1986).

Teknik – teknik yang didasarkan pada pemusnahan (menahan pemberian reinforcer terhadap respon) kadang – kadang digunakan untuk menghilangkan perilaku selft-mutilative seperti membenturkan kepala. Namun cara ini sering kali gagal menghilangkan perilaku tersebut. Masalahnya terletak pada pola – pola perilaku repetitif seperti berayun didepan dan belakang serta perilaku self-injurious yang bertahan karena adanya reinforcer internal seperti meningkatnya stimulasi. Sehingga dihentikannya reinforcer sosial hanya akan berpengaruh kecil. Stumulasi avertif seperti memukul dan pada kasus ekstrem, kejutan listrik, dapat digunakan bila pendekatan yang lebih baik lunak terbukti tidak efektif. Stimulasi listrik yang sedang tetapi cukup menyakitkan dapat menghilangkan self-mutilation dalam penerapan selama satu menit (Lovaas, 1977). Penggunaan kejutan listrik pada anak – anak sudah tentu mengundang pertanyaan tentang moral, etika dan hukum. Lovaas mengatakan bahwa kegagalan untuk menghilangkan perilaku menyakiti diri menempatkan anak pada resiko yang lebih besar akan bahaya fisik dan tidak memberikan kesempatan pada anak untuk mengikuti bentuk – bentuk terapi lain. Penggunaan stimulasi aversif seharusnya digabungkan dengan reinforcer positif bagi perilaku alternatif yang dapat diterima.

Program penanganan perilaku yang paling efektif amatlah intensif dan terstruktur, dengan banyaknya pemberian instruksi individual (Rapin, 1997). Contoh klasik adalah program yang dikembangkan oleh psikolog O. Ivar Lovaas dari UCLA. Pada penelitian klasik oleh Lovaas (1987), anak – anak autistik memperoleh lebih dari 40 jam terapi modifikasi perilaku secara individual setiap mingguny, selama minimal 2 tahun. Peningkatan signifikan dalam aspek intelektual dan pendidikan dilaporkan terjadi pada 9 dari 19 anak (47 %) dalam program tersebut. Anak – anak mengalami perbaikan mencapai skor IQ normal dan dapat berhasil dikelas 1 SD. Hanya 2% dari kelompok kontrol yang tidak menerima penanganan intensif mencapai hasil yang sama. Hasil penanganan tetap bertahan saat studi lanjutan ketika anak - anak berusia 11 tahun (McEachin, Smith, & Lovaas, 1993).

Walaupun program – program perilaku intensif dapat menghasilkan peningkatan yang mengagumkan, studi lanjutan jangka panjang masih belum menunjukan hasilnya. Kita juga mengetahui bahwa sebagian anak menunjukan kemajuan luar biasa dan lainnya tidak (Smith, 1999). Anak – anak yang berfungsi lebih baik pada awal penanganan umumnya akan menunjukan peningkatan paling tinggi.

Pendekatan biologis hanya memberikan pengaruh yang terbatas pada penanganan autisme. Hal ini dapat berubah. Penelitian menunjukan bahwa oabt – obatan yang meningkatkan aktifitas serotonin, seperti SSRI, dapat mengurangi pikiran dan perilaku repetitif serta agresivitas sehingga menghasilkan perbaikan dalam hubungan sosial dan penggunaan bahasa pada individu autistik dewasa (McDougle dkk., 1996). Efek dari obat – obatan ini pada anak – anak autistik masih perlu dilihat. Penelitian lain berfokus pada obat – obatan yang biasanya digunakan untuk menangani skizofrenia, seperti Haldol yang menghentikan aktivitas dopamin. Sejumlah penelitian terkontrol menunjukan bahwa Haldol membantu pada banyak kasusdalam mengurangi perilaku menarik diri dan perilaku motor repetitif (Seperti berayun kedepan dan belakang), agresifitas peravitas dan perilaku self-injurious (McBride dkk,. 1996). Kami tidak melihat perbaikan yang konsisten dari penggunaan obat terhadap perkembangan kognitif dan bahasa pada anak autistik.

Sifat – sifat autistik umumnya menetapkan hingga dewasa dalam taraf tertentu. Sebagian anak autistik memang dapat mencapai gelar sarjana dan mampu berfungsi secara independen (Rapin, 1997). Sebagian lagi membutuhkan penanganan sepanjang hidup mereka, bahkan mendapatkan perawatan dan tinggal di institusi. Bahkan pada individu autistik dewasa yang memiliki tingkat fungsional paling tinggi pun tetap memiliki defisit pada keterampilan sosial dan komunikasi serta memiliki minat dan aktivitas yang amat terbatas (APA, 2000).

Perspektif Teoretis Autisme

Penyebab autisme belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas otak. Awalnya, dari sudut pandang yang mendiskreditkannya, penyebab tidak adanya kontak sosial pada anak autistik dikatakan sebagai reaksi terhadap orang tua yang dingin jarak “lemari es emosional” yang kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan yang hangat dengan anak – anak mereka. Penelitian – penelitian tidak dapat membuktikan asumsi ini (yang dianggap menghancurkan hati banyak orang tua) bahwa mereka dingin dan jauh (Hoffmann & Prior, 1982). Sudah tentu ada benarnya bahwa anak – anak autistik tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan orang tua mereka, tetapi hubunan sebab akibatnya masih diragukan. Penolakan orang tua tidak menyebabkan autisme, tetapi orang tua dapat berubah menjadi mngambil jarak karena usaha – usaha mereka untuk berhubungan dengan anak berkali – kali gagal. Jadi sikap menjauh merupakan akibat dari autisme, bukan penyebab.

Psikolog O. Ivar Lovaas dan kawan – kawan (1979) menwarkan perspektif belajar – kognitif dari autisme. Mereka menyatakan bahwa anak – anak autistik memiliki defisit perseptual sehingga mereka hanya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu. Akibatnya mereka lambat belajar secara classical conditioning (asosiasi terhadap stimuli). Berdasarkan perspektif teori belajar, anak – anak menjadi terikat dengan pengasuh utama mereka karena diasosiasikan dengan reinforcer primer seperti makanan dan pelukan. Anak – anak autistik memperhatikan makanan atau pelukan, tetapi tidak menghubungkan dengan orang tua.

Para teoretikus kognitif memfokuskan jenis – jenis defisit kognitif yang diperlihatkan oleh anak – anak autistik dan kemungkinan hubungan diantaranya. Anak – anak autistik tampaknya mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan informasi dari berbagai indra (Rutter, 1983). Pada waktu – waktu tertentu mereka tampak terlalu sensitif pada rangsangan. Pada waktu lainnya mereka menjadi amat tidak sensitif sehingga pengamat akan bertanya – tanya apakah mereka tuli. Defisit perseptual dan kognitif tampaknya mengurangi kapasitas mereka untuk menggunakan informasi untuk memahami dan menerapkan aturan – aturan sosial.

Namun apa yang menyebabkan defisit perseptual dan kognitif ini? Berbagai hendaya yang dihubungkan dengan autisme, termasuk retardasi mental, defisit bahasa, perilaku motorik yang aneh, bahkan seizure, menunjukan adanya gangguan neurologis yang melibatkan suatu bentuk kerusakan otak atau ketidakseimbangan kimiawi saraf dalam otak (Perry dkk., 2001; Stokstad, 2001). Bukti – bukti dari pemeriksaan pindai MRI dan PET menunjukan abnormalitas pada otak anak laki – laki dan pria dewasa yang menyandang autisme, termasuk membesarnya ventrikel yang mengindikasikan hilangnya sel – sel otak (Haznedar dkk., 2000, Piven dkk., 1997). Namun para peneliti belum menentukan kerusakan otak seperti apa yang dapat menjadi penyebab autisme (Rapin, 1997; Zilbovicius dkk., 1995). Mungkin autisme berasal dari penyebab majemuk yang melibatkan lebih dari satu tipe abnormalitas otak (Ritvo & Ritvo, 1992). Para ahli menduga bahwa penyebab yang mendasari autisme dapat berasal dari kerusakan terhadap bayi dalam kandungan (O`Connor, 2001b; Stokstad, 2001). Pada akhirnya autisme tetap menjadi misteri.

Karakteristik Autistisme

Karakteristik Diagnostik dari Gangguan Autistik

  1. Diagnosis membutuhkan kombinasi dari ciri – ciri yang ada pada beberapa kelompok berikut ini. Tidak semua ciri dari setiap kelompok harus ada untuk dapat dilakukan diagnosis.

Hendaya Interaksi Sosial

    1. Hendaya pada perilaku nonverbal seperti ekspresi wajah, postur tubuh, dan kontak mata yang biasanya mengatur interaksi sosial.
    2. tidak mengembangkan hubungan teman sebaya yang sesuai dengan usianya.
    3. Kegagalan dalam berbagai kegembiraan dengan orang lain.
    4. Tidak menunjukan reaksi sosial dan emosional timbal balik (memberi dan menerima).

Hendaya Komunikasi

1. Keterlambatan pada perkembangan bahasa verbal (juga tidak ada usaha untuk mengatasi kekurangan ini melalui isyarat)

2. Bila perkembangan bahasa adekuat, kurangnya kemampuan untuk memulai dan mempertahankan percakapan tetap tampak.

3. Menunjukan abnormalitas pada bentuk atau isi bahasa (misalnya, bahasa stereotif atau repetitif (berulang), seperti pada ekolalia; penggunaan kata – kata yang tidak lazim; bicara tentang diri sendiri dengan menggunakan kata ganti orang kedua atau ketiga – menggunakan ”kamu” atau ”dia” yang artinya ”saya”)

4. Tidak memperlihatkan kemampuan bermain sosial spontan atau imajinatif (bermain pura – pura)

Pola Perilaku yang terbatas, repetitif dan stereotip

1. Menunjukan minat yang terbatas

2. Memaksa rutinitas (misalnya selalu menggunakan rute yang sama untuk bepergian dari satu tempat ketempat lainnya)

3. Menunjukan gerakan – gerakan stereotip (misalnya menjentikkan kepala, baerayun kedepan dan belakang, berputar)

4. Menunjukan fokus yang berlebihan pada bagian – bagian objek (misalnya memutar roda mobil – mobilan secara berulang – ulang) atau kelekatan yang tidak biasa terhadap objek – objek (seperti membawa – bawa seutas tali)

  1. Kemunculannya (onsetnya) terjadi sebelum usia 3 tahun yang tampak dari fungsi yang abnormal pada paling tidak satu dari hal – hal seperti perilaku sosial, komunikasi, atau bermain imajinatif.

Ciri Autisme

Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan seperti berulang – ulang memutar benda, mengepakan tangan, berayun kedepan dan belakang dengan tangan memeluk kaki. Sebagian anak autistik meyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, mengigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atu merasa panik secara tiba – tiba. Ciri lain dari autisme adalah menilak perubahan pada lingkungan, ciri yang diberi istilah ”penjagaan kesamaan” Bila ada objek – objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya.

Anak – anak autistik dikuasai oleh ritual. Guru dari seorang anak perempuan autistik berusia 5 tahun belajar untuk menyapanya setiap pagi dengan mengatakan ”Selamat pagi Lily, saya sangat senang bertemu dengan kamu” (Diamond, Baldwin & Diamong, 1963). Walaupun Lily tidak berespons terhadap kata – kata tersebut namun ia akan berteriak bila gurunya menghilangkan salah satu kata `sangat` dari kalimat tersebut.

Anak – anak autistik tampaknya gagal untuk mengembangkan konsep diri yang terdiferensiasi, perasaan bahwa mereka merupakan individu yang terpisah. Walaupun menunjukan perilaku yang tidak biasa, sering kali mereka tampak cukup menarik dan pandai. Namun, bila diukur berdasarkan tes – tes yang terstandarisasi, perkembangan intelektual mereka cenderung berada dibawah normal. Tiga diantara empat anak menunjukan tanda – tanda retardasi mental (Rapin, 1997). Mereka yang intelegensinya berfungsi pada taraf rata – rata tetap memperlihatkan defisit fitas – aktifitas yang membutuhkan kemampuan simbolisasi sepertimengenali emosi, berpartisipasi dalam bermain simbolik dan memecahkan masalah secara konseptual. Mereka juga menunjukan kesulitan dalam mengikuti tugas – tugas yang melibatkan interaksi dengan orang lain. Walaupun demikian, hubungan antara autisme dengan imtelegensi sebenarnya tidak jelas, karena kesulitan dalam melakukan tes IQ pada anak – anak ini. Pengetesan memrlukan kerja sama, suatu keterampilan yang amat tidak dimiliki oleh anak – anak autis. Hal yang paling mungkin dilakukan hanyalah memperkirakan kemampuan intelektual mereka.

Pengertian Autisme

Autisme (autism), atau gangguan autistik adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak – kanak. Autisme bersifat kronis da berlangsung sepanjang hidup. Anak –anak yang menderita autisme tampak benar – benar sendiri didunia, terlepas dari upaya orang tua untuk menjembatani muara yang memisahkan mereka.

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti ”self” Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia (autisme adalah salah satu dari ”empat A” Bleuler). Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian – kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosa ”autisme infantil awal” kepada sekelompok anak yang terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah – olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dari anak – anak dengan retardasi mental, anak – anak ini nampaknya menutup diri setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam ”kesendirian autistik” (Kanner, 1943).

Mereka yang bergerak dibidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme lebih sering muncul daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar2 sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam populasi (APA, 2000; Fox 2000). Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak laki – laki ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18 – 30 bulan (Rapin, 1997). Namun demikian, barulah pada usia sekitar 6 tahun rata – rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosa (Fox, 2000). Keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak – anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosa dan penanganan lebih awal (Fox, 2000).

Anak – anak autistik sering digambarkan oleh orang tua mereka sebagai ”bayi yang lebih” diawal masa balita. Ini biasanya berarti mereka tidak banyak menuntut. Namun, setelah mereka berkembang, mereka mulai menolak afeksi fisik seperti pelukan dan ciuman. Perkembangan bahasanya berada di bawah standar.

Gangguan Perkembangan Pervasif

Gangguan perkembangan pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik dimana keterampilan sosial yang diharapkan, perkembangan bahasa dan kejadian perilaku tidak berkembang secara sesuai atau hilang pada masa kanak – kanak awal umumnya, gangguan mempengaruhi berbagai bidang perkembangan, bermanifestasi pada awal kehidupan dan menyebabkan disfungsi yang bersistem.

Gangguan autistikk (juga dikenal sebagai autisme infantil), merupakan gangguan yang terkenal, ditandai oleh gangguan berlarut – larut pada interaksi sosial timbal balik, penyimpangan komunikasi dan pola perilaku yang terbatas dan stereotipik. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disordersedisi ke empat (DSM-IV), fungsi abnormal pada bidang diatas harus ditemukan pada usia 3 tahun. Lebih dari duapertiga orang dengan gangguan autistik memiliki retardasi mental, tetapi hal tersebut tidak diperlukan untuk diagnosik.

Autistime infantile digambarkan oleh Leo Kanner di tahun 1943, tetapi sampai tahun 1980, dalam DSM edisi ketiga (DSM-III), gangguan autistik tersebut tidak dikenali sebagai kesatuan klinis tersendiri. Sebelum tahun 1980, anak – anak dengan salah satu gangguan perkembangan pervatif diklasifikasikan menderita skizofrenia tipe masa kanak – kanak.

DSM-IV mempertahankan kategori gangguan perkembangan pervatif yang tidak ditentukan untuk pasien yang menunjukan gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik dan komunikasi verbal dan nonverbal tetapi yang tidak memenuhi kriteria lengkap untuk gangguan autistik.

DSM-IV memiliki beberapa gangguan lain dalam kategori gangguan perkembangan pervatif : Gangguan Rett, gangguan disintegratif masa kanak – kanak dan gangguan asperger. Gangguan Rett tampaknya terjadi pada anak perempuan; ditandai oleh perkembangan normal untuk sekurangnya 6 bulan, diikuti dengan degenerasi perjalanan perkembangan. Biasanya, anak mulai menunjukan gerakan tangan stereotipik, kehilangan gerakan bertujuan, menurunnya keterlibatan social, koordinasi buruk dan menurunnya pemakaian bahasa. Pada gangguan disintegratif masa kanak – kanak, perkembangan maju dengan normal selama 2 tahun pertamaah mana anak menunjukan hilangnya keterampilan yang telah dicapai sebelumnya dalam dua atau lebih bidang berikut :pemakaian bahasa, responsivitas social, bermain, keterampialn motorik, dan pengendalian kandung kemih dan usus. Gangguan Asperger adalah suatu kondisi dimana anak menunjukan gangguan jelas dalam hubungan social dan pola perilaku yang berulang dan stereotipik tanpa keterlambatan dalam perkembangan bahasa. Kemanmupan kogniif dan keterampilan adaftif anak adalah normal.