Kamis, 22 April 2010

Intervensi Sosial Siswa dengan Kebutuhan Khusus

http://www.sanmarosu.net

Ketergantungan manusia dengan orang lain sudah terlihat sejak dalam kandungan. Sejalan dengan perkembangannya, seorang anak membutuhkan orang lain tidak saja untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, namun juga untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya, bahkan mungkin intelektualnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan mampu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan sosial mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup bagi anak untuk bermain atau bercanda dengan teman sebayanya, memberikan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan perkembangan anaknya. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.

Seorang anak tidak dilahirkan dengan berbagai pengetahuan mengenai norma-norma dalam lingkungannya. Pengetahuan ini didapatkan melalui proses belajar yaitu sosialisasi. Melalui sosialisasi inilah akan terjadi penyerapan sikap, nilai, dan kebiasaan yang semuanya dipengaruhi oleh motivasi individual, latihan serta pengalaman.

Willard Hartup mengemukakan bahwa setiap anak membutuhkan dua macam pengalaman hubungan yang berbeda, yaitu hubungan vertikal yang meliputi kelekatan terhadap seseorang yang memiliki kekuatan atau pengetahuan sosial, misalnya orang tua atau guru, dan hubungan horizontal yang bersifat resiprokal dan egaliter, misalnya interaksi dengan teman sebaya (peers). Kedua hubungan ini diperlukan bagi anak untuk mengembangkan ketrampilan sosial yang efektif. Hubungan vertikal penting kebutuhan perlindungan dan keamanan anak, serta menciptakan dasar-dasar ketrampilan sosial. Sedangkan hubungan horizontal, persahabatan dan teman sebaya penting untuk menerapkan ketrampilan dasar. Ketrampilan sosial yang didapatkan dalam hubungan horizontal dapat dipelajari dari hubungan yang kooperatif, kompetitif dan intimasi (dalam Bee, 1994).

Hampir setiap anak memiliki kemampuan ketrampilan sosial dalam melakukan penyesuaian sosial, namun tidak untuk sebagian anak yang mengalami gangguan perkembangan atau anak-anak dengan kebutuhan khusus (exceptional children) yang menyebabkan mereka berbeda dengan anak normal lainnya dalam adaptasi sosial, misalnya anak autisme.

Anak autisme mengalami gangguan khususnya dalam beberapa lingkup komunikasi (baik verbal maupun non verbal), perkembangan kognitif dan ketrampilan sosial. Ketidakmampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain disebabkan karena mereka kesulitan dalam menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan isyarat yang mengatur hubungan sosial. Mereka mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan dengan teman sebaya, ketidakmampuan secara spontan mencari orang lain untuk tujuan berbagai kesenangan, minat atau keberhasilan dan ketidakmampuan membentuk hubungan sosio-emosional yang timbal balik dengan orang lain.

Menurut para praktisi pendidikan yang meliputi guru, staf sekolah, dan orang tua yang memiliki anak autisme menyatakan bahwa anak dengan kebutuhan khusus termasuk autisme terabaikan, terejek, dan ditolak oleh teman sebayanya yang non autisme. Anak autisme sering mengekspresikan rasa kesepian, terisolasi, dan kurang percaya diri dalam berteman. Teman sebaya mereka yang non autisme juga menggambarkan mereka sebagai orang luar , kesepian dan pengacau (dalam Choi, 2000).

Dalam penelitian Sujarwanti (2002) dikemukakan bahwa anak autisme dengan berbagai karakteristik dan kekurangannya ternyata juga bisa memiliki kematangan sosial sesuai dengan norma kelompoknya, artinya diagnosa autisme bukan merupakan vonis bahwa anak tersebut tidak akan mengalami perkembangan kematangan sosial. Ternyata perkembangan sosial juga terjadi pada anak autisme, meski taraf penguasaannya tidak sesempurna anak normal pada umumnya.

Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan usaha peningkatan ketramppilan sosial bagi anak autisme adalah menempatkan anak autisme dalam lingkungan pendidikan yang sama dengan anak-anak non autisme. Anak autisme diajarkan untuk berinteraksi dengan peers yang non autisme dalam kegiatan bermain bersama. Keberadaan anak autisme memberi keuntungan pada kelas secara keseluruhan. Anak-anak normal terdorong memiliki rasa solidaritas. Sementara anak autisme berkembang pesat karena terdorong untuk bersosialisasi. Asumsi penelitian ini adalah adanya kesempatan dan kemungkinan interaksi sosial antara anak autisme dan non autisme. Jika anak non autisme mendukung dan mendorong anak autisme untuk bermain bersama, maka hambatan-hambatan yang muncul dalam proses interaksi social anak autisme dapat diatasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan interaksi sosial anak autisme dan non autisme mengalami peningkatan.

Berdasarkan penelitian inilah dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial terjadi pada anak autisme dan teman sebayanya (peers) bila adanya model dan dukungan perilaku prososial serta lingkungan yang kondusif untuk terjadinya interaksi. Dengan memberikan pengertian tentang kondisi temannya yang mengalami gangguan autisme diharapkan anak-anak normal dapat lebih toleran terhadap temannya yang autisme dan bersedia membantu temannya yang dalam kesulitan serta menjadi contoh berperilaku yang baik bagi teman autisme tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar